Bagian: I
- Ketika isu indonesia menjadi sarang teroris disebarkan, kebanyakan
orang indonesia menjadi marah. Para pejabat marah sambil mengatakan
bahwa isu itu tidak benar, isu itu mendiskreditkan indonesia dimata
dunia. Rakyat marah dan melakukan berbagai demonstrasi dikedutaan besar
negara asing, sambil membakar bendera negara asing itu. Sementara itu kalau
bendera merah putih kita dibakar oleh pihak lain, kita juga marah-
marah. Perasaan kita tersinggung dan memperlihatkan perilaku bermacam-
macam sebagai reaksi atas ketersinggungan itu.
- Coba kita
bandingkan dengan singapura negara produktif yang cukup rasional, kenapa
saya bilang begitu? TNI AL berniat menamai kapal perangnya dengan nama
KRI USMAN HARUN. Dua prajurit korps komando angkatan laut yang mengebom
singapura saat operasi dwikora tahun 1965 (kompas: 15/02/2014) namun
sikap pemerintah singapura hanya mengajukan keprihatinan mereka
dikarnakan orang yang telah melakukan serangan disingapura malah
dijadikan nama kapal perang anehnya disini bukan rakyat singapura yang
marah tapi masyarakat kita yang tersulut emosi dengan mengagung-
agungkan HAM dan mulai kembali mengorek kisah lama . Rupanya, di negri
"bhine ka tunggal ika" ini sikap emosional lebih dominan daripada
pertimbangan intelektual rasional.
- Contoh terkecil anda pernah
melihat reaksi suporter sepak bola nasional, saat tim yang dijagokannya
kalah? Jika kita lihat fakta dinegri tercinta ini, kita tak akan asing
lagi mendengar ataupun melihat ulah sebuah kelompok suporter bola yang
luar biasa…ancur! Mulai dari merusak pagar, konvoi sampe bikin lalu
lintas mampet, tak lupa sebagai ibadah rutinnya tawuran sampai babak
belur. Malah ada korban tewas segala. Padahal jika mereka sudah
memperoleh hasil pertandingan bahwa tim andalan mereka menang/kalah,
lalu apa yang akan para suporter dapat? Apa yang sang klub pujaan
berikan untuk anda? Jawaban nya cuma ada 2: kalah dilanjutkan dengan
prosesi tawuran dan jika menang berlangsung dengan konvoi(dikate
kawinan, kaleee..!).
- Lain halnya dengan FPI(front pembela islam)
makin tahun citra FPI makin negatif dimata masyarakat yang bertindak
"katanya" untuk menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, namun dimata orang
yang cenderung "liberal", aksi FPI dianggap mencederai demokrasi, dan
Pancasila. Dan imbasnya media yang disalahkan di karnakan "Media
cenderung memberikan gambaran FPI adalah kekerasan, tetapi untuk
kegiatan sosial yang FPI lakukan tidak ada", Memang peran media sangat
dibutuhkan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat, namun bukan
berarti saya menilai media di Indonesia ini tidak objektif, tentu semua
orang perlu dikritik, bahkan media sekalipun.
- Ketika niat
pemberantasan KKN diembuskan dan terulang dalam Tap MPR, secara
emosional rakyat menyambutnya dengan gegap gempita. Namun, begitu gong
pemberantasan KKN digaungkan dan mulai menjerat pejabat teras tertentu,
secara emosional para pendukungnya melakukan demonstrasi menolak tuduhan
KKN tersebut. Isu baru justru dibuat- buat bahwa usaha pemberantasan
KKN itu melanggar HAM. Alhasil, KKN tetap berjaya. Tentu saja ini sangat
melukai perasaan rakyat. Dengan gagalnya pemberantasan KKN yang justru
menumbuhsuburkan praktik KKN itu sendiri, sikap emosional rakyat semakin
berlebihan.
- ketika terjadi pergantian pejabat didaerah, sikapp
emosional juga ikut berperan. Bagaimana tidak. Pernah terjadi, esok hari
seorang pejabat akan dilantik, pada hari ini banyak orang melakukan
demonstrasi menolak pelantikan pejabat tersebut dengan aneka alasan yang
tidak masuk akal. Dengan semangat emosional mereka melakukan
demonstrasi tersebut. Usut kena usut ternyata dalang dari semua itu
adalah seorang ppejabat juga. Dan faktanya ternyata para pejabat kita
tampaknya memang senang bermain- main dengan emosi.
0 Comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)